Sabtu, 13 Juni 2009

10 Buku Pilihan Pekan Ini

Tambahkan rak buku Anda dengan “10 Pilihan Pekan Ini” yang direkomendasikan oleh Media Indonesia, Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, dan Republika.

1. Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan
An Ismanto dkk, I:BOEKOE, 2009, 1.001 halaman

Buku ini bisa menjadi semacam kamus atau ensiklopedia dunia sastra Indonesia yang memuat karya terbaik sepanjang masa, baik pra maupun pascakemerdekaan. Meskipun karya ini masih terbilang baru, tapi ia mempunyai banyak kelebihan yang tidak dimiliki karya-karya sastra lain. Di dalamnya dibedah dan disajikan secara terperinci tentang karya-karya sastra Indonesia yang diperkirakan mampu mewakili dan banyak menjadi referensi dunia sastra. Dari karya sastra klasik sebelum kemerdekaan hingga karya sastra modern pascakemerdekaan.

2. Ilusi Negara Islam (Ekspansi Gerakan Islam Transnasionalis di Indonesia)
Abdurrahman Wahid (ed), The Wahid Institute, Bhinneka Tunggal Ika & Maarif Institute, April 2009, 322 Halaman

Dari penelitian di 24 kota/daerah yang tersebar di 17 provinsi dan berlangsung tak kurang dua tahun, diperoleh fakta bahwa ajaran dan pandangan gerakan Islam transnasionalis telah menyebar dalam sejumlah ormas dan bahkan parpol di tanah air. Penelitian ini menyebut mereka sebagai Islam garis keras, baik di tataran individu maupun kelompok (organisasi) dengan ciri menganut pemutlakan pemahaman agama, bersikap tidak toleran terhadap keyakinan dan pandangan berbeda, hingga menginginkan adanya dasar dan bentuk Negara Islam atau Khilafah Islamiyah.

3. Persahabatan (Lysis): Mari Berbincang Bersama Plato
A Setyo Wibowo (penerjemah), Indonesia Publishing, 2009, 137 halaman

Teks yang diterjemahkan ini diperkirakan ditulis Plato waktu ia masih muda. Lysis adalah dialog, seperti hampir semua tulisan Plato. Sokrates, yang selalu menjadi corong Plato dalam dialog-dialognya, sedang berjalan di taman Akademia—sekolah di mana Plato mengajar. Di situ ia bertemu dengan beberapa pemuda dan mulai berdiskusi dengan mereka. Masalah yang mereka persoalkan adalah persahabatan. Segi lain pentingnya buku ini adalah sebagai ”demonstrasi” sebuah dialog hakiki. Lysis adalah dialog sejati, bukan traktat yang demi main-main diberi bentuk dialog. Meskipun Sokrates dengan segala kepintarannya mengemudikan arah dialog itu, dialog itu kelihatan tidak mempunyai arah yang jelas. Tetap bebas. Lain dari, misalnya, uraian Aristoteles tentang persahabatan dalam buku 8 dan 9 Etika Nikomacheia, dialog Lysis tidak maju secara sistematik, tetapi berliku-liku, ada pendapat silang, loncatan dalam argumentasi, dan kesimpulan yang sepertinya tidak dapat disimpulkan.

4. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas
F Budi Hardiman, Buku Baik, 2004, 124 halaman

Jurgen Habermas tidak diragukan lagi merupakan filsuf Jerman terpenting dewasa ini.Tulisan-tulisannya lebih dari 20 tahun dibicarakan di fakultas-fakultas filsafat Eropa kontinental. Buku ini menyajikan pemikiran Habermas seputar pengembangan sebuah teori kritis masyarakat secara mendalam dan mendasar. Juga memberi penguraian atas filsafat sains kontemporer, ilmu-ilmu sosial kritis, dan berbagai problem kemanusiaan dalam masyarakat akibat dominasi sistem ekonomi kapitalis, seperti alienasi, marginalisasi, dan hegemoni sains.

5. Dari Karyawan Menjadi Juragan
Erie Sasmito, 2009

Memiliki keinginan untuk mendapatkan posisi nyaman atas pekerjaan dengan gaji rutin, memang bukan hal yang salah. Tidak semua orang berani untuk mengambil risiko keluar dari zona nyaman itu dan mencoba menghadapi peruntungan atas usahanya. Tidak mengherankan jika dari kesuluruhan populasi di Indonesia hanya 0,18 persen yang berani memilih sebagai pelaku usaha. Buku ini menantang Anda untuk menjadi majikan atas diri sendiri, memberi gaji kepada diri sendiri atas setiap tetes keringat yang dikeluarkan.

6. Berpikir Seperti Nabi
Fauz Noor, LKiS, 2009

Buku ini ingin mengajukan gagasan yang mungkin selama ini luput dari perhatian kita. Yakni tentang cara berpikir nabi. Bagaimanakah cara nabi berpikir sehingga ia dapat memberikan jawaban yang berbeda untuk pertanyaan yang sama ketika pertanyaan tersebut dilemparkan oleh dua orang yang berbeda karakter? Bagaimana jalan pikir nabi hingga ia mengeluarkan sabda? Bagaimana ide cemerlang meloncat dalam pikiran nabi sedemikian hingga dalam waktu kurang dari seperempat abad sudah berhasil meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi kecemerlangan peradaban Islam? Bagaimana cara nabi berpikir sehingga pikirannya tidak kebablasan dan menjadi kufur? Buku ini menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

7. Tribes: Andalah Pemimpin yang Kami Cari
Seth Godin, One Publishing, 2009, 144 halaman

Tribe adalah sekelompok orang yang terhubung karena sebuah ide dan seorang pemimpin. Sejak berjuta tahun lalu, manusia jadi bagian dari tribe atas dasar agama, etnik, politik, atau bahkan sekadar musik. Tapi siapa yang layak jadi pemimpin? Diakah orang yang hanya bisa mengumbar janji? Diakah orang yang sanggup memoles citra diri dan kepopuleran dengan modal besar? Penulis buku ini mengatakan kepemimpinan harus berasal dari individu yang memiliki hasrat mewujudkan impian. Orang yang mau membuat perubahan. Karena itu, pemimpin bisa jadi siapa saja.

8. Disguised (Sang Penyamar)
Rita la Fontaine de Clercq Zubli, GPU, Mei 2009, 377 halaman

Setelah terbit pertama kali di Amerika Serikat pada 2001 dengan judul Disguised: A Teenage Girl's Survival in World War II Japanese Prison Camps, buku ini menghilang begitu saja. Kisah Rita ini tak akan sampai ke Indonesia andai penulis buku anak, Alison Morris, tak gigih mencari jejak keberadaannya. Berkisah tentang Rita la Fontaine de Clercq Zubli menjadi lelaki selama tiga bulan lebih. Itu terjadi di masa pendudukan Jepang di Indonesia. Rita menceritakan ulang kisah hidupnya itu dalam enam bagian berdasarkan bulan-bulan ia menjadi tawanan perang.

9. How to Talk so Kids will Listen and Listen so Kids Will Talk
Adele Faber dan Elaine Mazlish, Lentera Hati, 363 halaman

Buku ini menawarkan konsep menarik mengatasi kesulitan komunikasi antara orangtua dan anak. Keduanya pakar komunikasi ortu-anak yang telah diakui secara internasional. Walaupun terjemahan dari buku Amerika Serikat, tetapi buku ini bisa dijadikan rujukan setiap orangtua di seluruh dunia. Karena kesulitan komunikasi antara orangtua dan buah hatinya relatif terjadi di mana pun, termasuk di Indonesia.

10. Nge-Blog dengan Hati
Ndoro Kakung, GagasMedia, 2009, 144 halaman

Buku ini lebih berupa tip dan anjuran agar ngeblog tak diniatkan untuk menaikkan trafik kunjungan, untuk mencari uang, atau malah akal-akalan saja. Barangkali dengan membaca buku ini para blogger bisa terinspirasi dan tertulari spirit ngeblog ala Ndoro Kakung. Keyword penting dan perlu diresapi adalah soal ''berbagi'', eksperimen, dan interaksi di dunia maya. Bagaimana kabar spirit ngeblog Anda saat ini? Bila masih loyo silakan simak saja buku ini. Mungkin buku ini bisa jadi sebuah saklar untuk menggairahkan kembali hasrat menulis dan berbagi di dunia maya.
[+baca-]

Sabtu, 30 Mei 2009

Koleksi Perpustakaan Daerah Minim

Minat baca anak-anak saat ini sudah cukup meningkat, meski sayangnya tak diimbangi oleh jumlah koleksi buku. "Masalah sekarang bukan pada minatnya, tapi koleksinya yang tidak bertambah," kata Kepala Pusat Pengembangan Perpustakaan dan Pengkajian Minat Baca Perpustakaan Nasional Republik Indonesia T. Syamsul Bahri di Jakarta (14/4).

Menurut Syamsul, hampir semua perpustakaan di daerah mengalami kekurangan koleksi dan minta dikirimi buku dari pusat. Beberapa daerah sudah membangun gedung perpustakaan yang bagus, tapi isinya ternyata tak lengkap. Hingga kini tercatat ada 345 perpustakaan daerah.

Perpustakaan Nasional sejak 2004 sudah mencanangkan bantuan untuk perpustakaan lokal berupa dana tunai. Pada 2007 tercatat 100 perpustakaan di kabupaten dan kota yang mendapat bantuan masing-masing Rp 70 juta. "Sebanyak 60 persennya untuk buku dan bahan bacaan," kata Sekretaris Utama Perpustakaan Nasional Sri Sularsih. Tahun ini ada 100 kabupaten dan kota yang akan memperoleh bantuan yang sama.

Menurut Sri Sularsih, sepertiga perpustakaan daerah koleksinya masih 50 ribu buku. Bahkan ada yang hanya 20 ribu koleksi buku. Kota Malang dan Pekanbaru, kata dia, punya perpustakaan lengkap karena pendanaan yang besar.

Masalah kewajiban menyediakan anggaran untuk perpustakaan lokal memang tidak disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. "Saat itu ditakutkan akan berbenturan dengan Undang-Undang Otonomi daerah," dia menjelaskan. Antisipasinya, ada kewajiban untuk menganggarkan 5 persen dari total anggaran sekolah untuk pengelolaan perpustakaan.

Kebijakan ini, kata dia, agar perpustakaan sekolah lebih baik daripada perpustakaan milik pemerintah maupun swasta. Hanya, kata dia, anggaran 5 persen ini belum dijalankan sekolah-sekolah. Kini ia berharap ada peraturan pemerintah sebagai penjabaran dari Undang-Undang Perpustakaan yang mengatur dengan tegas kewajiban 5 persen anggaran sekolah untuk perpustakaan.

* Digunting dari Harian Koran Tempo Edisi 15 Mei 2009
[+baca-]

Sabtu, 18 April 2009

Perpustakaan dan Politik (Rak) Buku

Oleh Diana AV Sasa

Rak buku itu ada di Perpustakaan Altroph, Northtampton. Bentuknya seperti kincir raksasa yang terbelah. Menjulang tinggi hingga 6 kaki. Anak tangganya terurai ke bawah membentuk pola spiral memanjang. Di puncak tangga ada sebuah kursi tinggi dengan mimbar untuk membaca. Siapa saja yang duduk di sana akan merasa seperti berada di atas sebuah menara pengawas. Mirip para sipir di menara bui Panopticon yang digambarkan filsuf Prancis, Michel Foucault, untuk mendeskripsikan bagaimana sel-sel kekuasaan bekerja.

John King adalah orang yang merancang perpustakaan dengan konsep unik itu. Bagi John, perpustakaan adalah sebuah ruang yang memiliki filsafat bertingkat. Setiap buku memiliki tingkatan yang berbeda. Isi dari buku menunjukkan pada tingkatan di mana ia berada. Semakin berkualitas isinya, maka semakin tinggi letaknya. Ini melambangkan usaha yang harus diupayakan untuk menguasai isinya. Untuk menguasai buku pada tingkatan tinggi juga dibutuhkan tingkat pemahaman dan keterampilan membaca yang tinggi. Perpustakaan dengan tangga besar yang meliuk-liuk itu mewakili usaha berliku tersebut.

Tahulah kita, bahwa sebagai organisme hidup buku pun memiliki hirarki (sosial). Filsuf muslim Ziauddin Sardar pernah memerikan bagaimana para ulama menyusun kitab dalam rak. Rak bagian atas mestilah dihuni Alquran, lalu kitab Hadis, dan berikutnya kitab-kitab yang disusun para sahabat, seterusnya demikian. Penyusunan itu tentu saja didorong dari cara melihat fungsi dan posisi sebuah buku yang tergali dari arkeologi sadar (iman) pembacanya.

Baik John King maupun Sardar ingin mengatakan bahwa bagaimana pun buku memiliki ruang. Dengan ruang itu, buku membentuk tingkatan dan menunjukkan cakupannya. Ruang itu begitu luas, tak berbatas, dan sewaktu-waktu bisa berubah. Ketika kita memilih sebuah rak dan menentukan ragam buku apa yang akan mengisinya, secara tidak langsung kita tengah membentuk sebuah ruang bagi buku. Buku satu dengan buku lainnya saling melengkapi dan memenuhi ruang yang tersedia. Jika masih ada tempat yang lowong, maka kita akan terpicu untuk memenuhinya dengan buku lain. Persis seperti batu bata yang bersusun rapi membentuk dinding sebuah ruangan. Buku-buku itu akan berpadu satu dengan yang lain. Menciptakan ruang tersendiri. Isi buku yang satu melengkapi buku yang lain.

Tapi rak bukan hanya soal menata dinding buku. Ia juga adalah soal politik ruang. Sebut saja “politik rak”. Dalam politik ruang, setiap tempat, setiap lahan, menjadi frontier yang diperebutkan oleh siapa pun untuk menunjukkan kekuasaannya. Jika si pemilik ruang atau rak memiliki orientasi politik (wacana) kepada isme tertentu, maka pastilah buku-buku yang mendukung isme itu yang akan mendapatkan tempat di rak yang memiliki aksesibilitas lebih mudah dijangkau atau dilihat oleh tamu atau pengunjung.

Jika pemilik rak itu seorang yang ingin orang lain melihatnya pribadi yang religius, maka pastilah buku-buku yang menghuni rak paling depan dan mewah adalah sederet kitab-kitab suci. Tak peduli buku-buku itu dibacanya atau tidak. Sebab ini soal politik citra diri dan itu menjadi mungkin oleh bantuan (politik) rak.

Di mana-mana politik rak ini kita bisa saksikan. Di sebuah toko buku, rak paling depan akan menjadi rebutan banyak penerbit. Bahkan tak jarang penerbit berkemampuan finansial yang besar tak sungkan mengeluarkan dana ekstra untuk mendapatkan hak penuh di rak paling depan. Dan implikasi dari politik rak ini jelas, sekali sebuah buku masuk ke rak paling belakang atau sudut, vonis nasib buku itu sudah pasti: tercampak di gudang.

Beberapa perpustakaan berbasis komunitas atau hobi, bahkan politik raknya lebih ekstrim. Mereka menolak semua buku yang dianggap di luar minatnya. Salah satu adegan paling menarik soal itu bisa kita tonton dalam film Notting Hill. William Thacker, si pemilik toko buku, mengusir dengan kasar para pembeli yang menanyakan novel di dalam toko bukunya. Pasalnya, toko buku ini hanya menjual buku-buku perjalanan (travel book). Dan pengetahuan di kepala Thacker, hanyalah soal perjalanan. Materi yang sangat dikuasainya.

Ruth Baldwin, seorang kolektor buku terkemuka dari Amerika, mempersembahkan hidupnya hanya untuk memburu buku-buku tentang anak abad 18, 19, dan 20. Dan pencarian yang meletihkan menghasilkan sekira 90 ribu volume yang dipundaki rak khusus berskala raksasa di kampus Gainnesville, Universitas Florida. Rak Baldwin, sebagaimana sosoknya, menolak buku-buku selain yang berkisah tentang anak. Karena memang ia ingin dikenang masyarakat buku sebagai kolektor buku anak terbesar sejagat.

Lain lagi Walter Lionel Pforzheimer. Pengacara, kurator buku, dan agen kondang CIA (Center Intelligence Agent) ini hanya mau rak bukunya diisi oleh buku soal mata-mata (spy). Sebut saja koleksi langka autobiografi beberapa mata-mata; termasuk Memoirs of Secret Service (1699) karya Matthew Smith. Ditambah lagi salinan dari Warren Commission Report atas asasinasi Presiden John F. Kennedy yang ditandatangani semua komisioner. Bahkan di raknya juga terselip surat rahasia George Washington tertanggal 26 Juli 1777 yang ditujukan pada Kolonel Elias Dayton, kepala bagian intel Washington di New Jersey. Rak buku Pforzheimer itu disebut sebagai rak buku mata-mata terbesar dan menjadi rujukan studi tentang intelijen dunia.

Rak buku dengan sendirinya juga telah menjadi ruang eksplorasi dan sekaligus nisan bagi pemiliknya. Nama Walter dan Ruth terukir abadi sebagai pemilik rak buku dengan koleksi yang menakjubkan. Ketika mereka tiada, rak buku itu tetap menghidupkan nama mereka. Di sinilah letak politik rak buku itu. Rak buku dibuat untuk menunjukkan kebesaran pemiliknya. Unjuk kehebatan atas koleksi yang luar biasa. Mencerminkan pribadi sang pemiliknya. Kian megah, kian bergengsi. Sebuah bentuk pamer kekuasaan melalui rak buku.

Jelas sudah bagaimana posisi buku dalam rak itu telah menciptakan sebuah ruang tersendiri bagi buku. Rak buku bukan semata rongga-rongga kosong yang menjadi sarang buku. Rak-rak itu membentuk sistem ruang yang sistematik. Setiap tingkatan mewakili kebesaran kekuasaan yang mencakupinya. Semakin tinggi letaknya, makin di depan jajarannya, maka kian berkuasa, sakral dan diagungkan buku itu. Kelasnya pun meningkat dari buku yang sekadar layak dimiliki, menjadi buku yang wajib dikoleksi dan dibaca. Tertinggi dan terdepan menjadi sebuah perebutan pengakuan eksistensi dan kualitas isi sebuah buku. Dan permainan kuasa itu bisa dilihat miniaturnya dalam rak buku.

[Diana AV Sasa, pencinta buku. Tinggal di Surabaya #0852 32 444 023]
[+baca-]

Selasa, 20 Mei 2008

1001 BUKU, Menyebar Buku Hingga ke Papua

Serombongan murid sekolah dasar berkerumun di sebuah stand di Green Fest, festival lingkungan di Jakarta, sebulan lalu. Mereka sibuk memilih-milih pin. Harga pin Rp 1.000 itu relatif tak memberatkan anak-anak tersebut. Tapi dengan uang itu mereka sudah membantu 1001buku memasyarakatkan buku.

Perkumpulan 1001buku--didirikan pada Mei 2002 oleh Upit Djalins, Ida Sitompul, dan Tanti Soekanto, para ibu yang peduli pada minat baca anak-anak--adalah salah satu gerakan memasyarakatkan buku yang marak beberapa tahun terakhir. Contoh lain: Yayasan Bunda Yessy, yang didirikan Yasmine Yessy Gusman, aktris 1970-an. Mereka mengumpulkan dan menyebarkan bahan bacaan kepada anak-anak yang kurang beruntung melalui taman-taman bacaan. Donaturnya bisa instansi pemerintah, perusahaan swasta, atau perorangan.

1001buku punya cara unik untuk mengumpulkan buku. "Kami punya book drop box (kotak penampungan buku)," ujar penanggung jawab kegiatan 1001buku, Agus Rahmat Hidayat, yang ditemui Tempo di Green Fest. Kotak untuk menampung buku sumbangan dermawan itu diletakkan di sembilan lokasi di Jakarta, di antaranya kantor-kantor perusahaan swasta. Dengan cara ini, kata Rahmat, didapat sekitar 500 buku dalam sebulan.

Selain itu, 1001buku menjalin kerja sama dengan penerbit-penerbit buku dan majalah. Hal yang sama juga dilakukan oleh Yessy cs. Tapi Yessy cs tidak menghimpun buku dengan kotak penampungan. "Sempat terpikir, tapi belum kami lakukan," ujar Wina, asisten Yessy, di Taman Bacaan Namira di Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu dua pekan lalu.

Dengan cara itu, ribuan bahkan jutaan buku terkumpul, lalu disebar ke taman-taman bacaan di berbagai daerah di seluruh Indonesia. "Kami telah mengirim ke 200 taman bacaan anak dari Aceh sampai Papua," ujar Rahmat, yang sehari-hari bekerja di satu penerbit di Jakarta. Setahun, 1001buku mengirim sekitar 3-4 kali kepada taman bacaan yang mengajukan permintaannya melalui situs 1001buku.

Yayasan Yessy, yang didirikan pada Desember 1999, telah mengirim buku ke 400 taman bacaan di luar Jakarta dan sekitar 100 taman bacaan di Jakarta. Taman bacaan di Jawa yang paling sering minta bantuan, sedangkan dari luar Jawa sekitar tiga bulan sekali. Tiap bulan total bisa 20 taman bacaan. Jika permintaan disetujui, tiap taman bacaan mendapat bantuan 100 buku. Yayasan memprioritaskan taman bacaan di perkampungan terpencil, lingkungan kumuh, dan untuk anak-anak kurang beruntung. Bagaimana mengenalinya lewat surat? "Dari bahasa dan tulisan suratnya yang (relatif) kurang baik, serta alamat pengirim," ujar Wina.

Meski mudah menghimpun bantuan, ada saja kendalanya. Yang dihadapi 1001buku di antaranya adalah dana dan sumber daya manusia. Beberapa waktu sebelumnya, kata Rahmat, banyak donatur yang berniat memberi dana. Tapi karena ogah ribet dengan pertanggungjawaban keuangan, perkumpulan ini hanya menerima bantuan buku. Lama-lama pengiriman memerlukan biaya yang tidak sedikit. Apalagi makin lama biaya pengiriman makin mahal. "Jadi telat (menyadari), setelah dipikir-pikir perlu (dana) juga," kata Rahmat.

Yang membuat 1001buku bertahan tanpa menerima bantuan dana adalah karena perusahaan penyumbang buku sekaligus diminta membiayai ongkos pengiriman. Beberapa perusahaan ekspedisi, seperti RPX/FedEx, juga Asosiasi Logistik Indonesia, digandeng.

Dana dirasakan perlu karena urusan 1001buku tak melulu menghimpun, menyortir, dan mendistribusikan bantuan. Setidaknya saban bulan mereka mendatangi taman bacaan penerima bantuan. Untuk mengakali kesulitan dana, yang biasa dilakukan adalah nebeng kesempatan penggiat 1001buku yang dinas luar kota. "Yang dinas luar kota sekalian nyambangi taman bacaan di daerah," kata Rahmat. Cara komunikasi melalui milis dan situs juga dimanfaatkan.

Kesulitan lainnya adalah keanggotaan 1001buku yang sifatnya sangat cair. Beberapa tahun lalu perkumpulan ini tidak terstruktur, tak punya ketua. Yang ada cuma penanggung jawab kegiatan. Anggotanya keluar-masuk dengan mudah. Lantaran itu, Rahmat mengaku kesulitan mendapatkan penggiat yang berkomitmen kuat pada kegiatan perkumpulan, juga bantuan dan kerja sama dari instansi pemerintah. Untung, banyak perusahaan swasta tak terlalu peduli dengan keadaan ini. Agar kesulitan tak berlanjut, tahun lalu perkumpulan ini mendirikan yayasan.

Kesulitan membangun jejaring dengan pemerintah tak dialami Yayasan Yessy. Yessy bahkan kerap diundang pejabat pemerintah daerah untuk mendapatkan dan menyebar buku. Tahun lalu yayasan ini mendapat bantuan Rp 25 juta dari Departemen Pendidikan Nasional. Perusahaan swasta seperti Bank Niaga, misalnya, pernah memberikan sejuta buku.

Hanya, soal sumber daya manusia, setali tiga uang dengan 1001buku. "Sumber daya kami terbatas," kata Yessy, Sabtu dua pekan lalu, melalui telepon. Sumber daya yang terbatas ini sangat terasa pengaruhnya pada 2004. Yayasan Yessy, yang memiliki 13 taman bacaan di Jakarta dan Depok, tak mampu bertahan dengan mengandalkan tenaga pembimbing yang dibayar yayasan tiap bulan. "Beberapa pembimbing menikah dan keluar," ujar Wina.

Bersamaan dengan itu, yayasan juga kesulitan membayar pembimbing. Tapi ada berkah terselubung dalam kesulitan itu. Krisis sumber daya orang dan uang membuat penggiat yayasan berpikir menyerahkan taman-taman bacaan kepada masyarakat.

Tawaran itu disambut baik. Dari 13 taman bacaan, empat diambil alih masyarakat. Taman Bacaan Jafan di Depok dan Taman Bacaan Dave, yang berubah nama menjadi Taman Bacaan Alif, di Jalan Buncit Raya, Jakarta Selatan, malah diambil alih perorangan. Taman Bacaan Jafan diambil alih keluarga Bambang dan sehari-hari dikelola Diani Sari Widura, putri keluarga itu. Sedangkan Alif dikelola Diana Syarifah, pegawai swasta yang mengaku mengambil alih taman bacaan itu karena terinspirasi oleh Yessy.

Diani dan Diana menambah koleksi taman bacaannya dengan merogoh kocek sendiri. "Biasanya beli buku di bazar diskon," ujar Diana. Diana juga harus membayar penjaga taman bacaan yang buka pada sore hari itu. Namun, kewajiban-kewajiban itu dianggap tak mengganggu keuangannya karena tak rutin membeli buku dan mendapat bantuan buku dari teman-temannya.

Adapun Diani menangani sendiri Taman Bacaan Jafan, yang menempati toko buku dan alat tulis milik keluarganya. Keluarganya melengkapi taman bacaan itu dengan mainan, pensil warna, serta krayon untuk menggambar dan mewarnai. Keluarganya kerap membeli pensil warna dan krayon. Tapi banyak tetangganya yang menyumbangkan buku, majalah. "Banyak juga yang menyumbangkan mainan layak pakai."

* Digunting dari Harian Koran Tempo Edisi 21 Mei 2008
[+baca-]

Minggu, 27 April 2008

Taman Bacaan Kurang Optimal

Taman bacaan masyarakat yang ada selama ini masih kurang optimal dikembangkan. Belakangan, anggaran pengembangan taman bacaan masyarakat juga terpangkas seiring dengan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008.

Padahal, taman bacaan masyarakat berpotensi memberdayakan komunitas. Berawal dari upaya memperkenalkan bacaan ke masyarakat sekitarnya, taman bacaan dapat berkembang menjadi wadah aktivitas di komunitas.

Seperti diwartakan sebelumnya, penyediaan bantuan pengembangan perpustakaan dan minat baca di daerah yang semula dianggarkan sekitar Rp 41 miliar kini terpotong separuhnya. Dana tersebut untuk bantuan rintisan dan penguatan taman bacaan masyarakat di 33 provinsi dengan target awal sekitar 2.250 lembaga. Adapun anggaran pengadaan sebanyak 143 taman bacaan masyarakat layanan khusus bersifat mobile atau bergerak tidak jadi dilaksanakan lantaran anggarannya sebesar Rp 46 miliar terpangkas seluruhnya.

Hari Buku Dunia

Dalam peringatan World Book Day atau Hari Buku Dunia 2008 yang dibuka pada Rabu (23/4), sejumlah taman bacaan masyarakat ikut ambil bagian dalam memperkenalkan arti penting membaca dan kehadiran taman bacaan masyarakat. Perayaan Hari Buku Dunia berpusat di Museum Bank Mandiri, Kota, Jakarta, dan akan berlangsung pada 23-27 April 2008.

Pendiri taman bacaan masyarakat Arjasari yang berlokasi di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Agus Munawar, mengatakan, kendala pendanaan menjadi persoalan umum bagi taman bacaan masyarakat. Pendiri taman bacaan umumnya membangun taman bacaan masyarakat dengan dana swadaya. ”Kami biasanya berburu ke tempat penjualan buku murah atau ke penerbit,” ujarnya.

Menurut Agus, minat baca masyarakat sebetulnya tinggi. Hanya saja, tidak semua orang sanggup membeli buku yang saat ini harganya masih terbilang mahal.

Hal senada diungkapkan pendiri taman bacaan Mutiara Ilmu, Kabupaten Bekasi, Soimah. Untuk mengelola taman bacaannya, dia mengeluarkan dana pribadi. ”Saya tidak menyesal mengeluarkan dana sendiri, yang penting taman bacaannya berjalan,” ujarnya.

Edi Dimyati, salah satu pendiri taman bacaan Kuartet Cibubur, Jakarta Timur, mengatakan, taman bacaannya tidak sekadar menjadi tempat membaca. Setiap akhir pekan diselenggarakan kegiatan yang bersifat edukatif, seperti permainan, menggambar, menonton film edukatif, dan berkunjung ke museum.


* Digunting dari Harian Kompas, 24 April 2008
[+baca-]

Minggu, 20 April 2008

Dana Perpustakaan Dipangkas

Pemotongan anggaran Departemen Pendidikan Nasional sebesar 10 persen berdampak pada pemotongan anggaran untuk perpustakaan. Bahkan, terdapat program terkait peningkatan literasi yang dihapuskan tahun ini lantaran pemotongan anggaran tersebut.

Seperti diwartakan sebelumnya, pemerintah menyesuaikan kembali anggaran negara dengan memotong 10 persen anggaran di semua departemen, termasuk Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Pemotongan tersebut telah dipastikan seiring dengan ditetapkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2008, awal April lalu.

Penyediaan bantuan pengembangan perpustakaan dan minat baca di daerah, yang semula dianggarkan sekitar Rp 41 miliar, kini terpotong separuhnya. Dana tersebut asalnya untuk bantuan rintisan dan penguatan taman bacaan masyarakat di 33 provinsi dengan target awal sekitar 2.250 lembaga.

Adapun anggaran pengadaan sebanyak 143 taman bacaan masyarakat layanan khusus bersifat mobile atau bergerak tidak jadi dilaksanakan lantaran anggarannya sebesar Rp 46 miliar terpangkas seluruhnya.

Pembangunan perpustakaan dan sumber belajar untuk pendidikan dasar juga terpotong Rp 30 miliar. Padahal, berdasarkan data Depdiknas sampai akhir tahun 2007, jumlah perpustakaan sekolah masih sangat minim. Di Indonesia hanya 27,6 persen sekolah dasar yang memiliki perpustakaan. Sebarannya tidak merata. Ada daerah dengan 72,8 persen sekolah dasar telah memiliki perpustakaan seperti di Yogyakarta. Namun, ada juga yang baru 5 persen sekolah dasar dilengkapi perpustakaan, seperti di Maluku Utara.

Peran besar

Direktur Program Forum Indonesia Membaca Dessy Sekar Astina, Minggu (20/4), mengatakan, perpustakaan dan pusat sumber belajar berperan besar membawa perubahan dalam masyarakat. Pengetahuan dan kreativitas dapat lahir dengan mengakses informasi di perpustakaan dan pusat sumber belajar.

”Pusat sumber belajar menjadi tempat masyarakat mendapat informasi melalui bacaan dan media lain, berdiskusi, serta beraktivitas kelompok. Ketika masyarakat membaca secara fungsional, akan terbentuk cara memilah informasi dan membuat pilihan-pilihan dalam hidup secara lebih baik,” ujar Dessy.

Hanya saja, pembangunan perpustakaan dan pusat sumber belajar masih dipandang sebagai pengeluaran dana belaka, bukan pemberi keuntungan yang dapat memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat. Berinvestasi di dalam pembangunan sumber belajar hasilnya memang baru terlihat dalam jangka panjang.

Terlebih lagi, di tengah kondisi perpustakaan sekolah yang masih memprihatinkan. ”Perpustakaan sekolah masih cenderung berisi buku pelajaran, bukan buku bacaan yang menyenangkan dan menarik minat anak untuk membaca. Bahkan, masih banyak sekolah di level pendidikan dasar tidak dilengkapi dengan fasilitas perpustakaan,” ujarnya.

Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas Ace Suryadi mengatakan, penyediaan bacaan dengan didirikannya taman bacaan masyarakat yang mudah dijangkau masyarakat sebenarnya diperlukan untuk menumbuhkan minat baca. ”Keinginan kami, taman bacaan masyarakat bukan sekadar menyediakan buku-buku bacaan, tetapi bagaimana bisa berkembang menjadi kios buku sehingga taman bacaan masyarakat menjadi produktif,” kata Ace.

Dengan adanya pemangkasan anggaran tersebut, program pendukung untuk literasi atau keaksaraan ini dianggap belum prioritas. Penambahan jumlah taman bacaan masyarakat berkurang separuh dari yang direncanakan supaya program kunci seperti pemberantasan buta aksara bisa tetap berjalan.

”Yang dibatalkan sama sekali itu rencana pengadaan 143 mobile TBM (taman bacaan masyarakat). Padahal, mobile TBM sangat berguna untuk melayani masyarakat di daerah terpencil dan berpenduduk jarang, atau mereka yang tinggal di daerah aliran sungai. Terpaksa pengadaannya menunggu sampai tahun depan,” ujar Ace.

Menurut Ace, keberadaan taman bacaan masyarakat, terutama di kantong-kantong buta aksara, berguna untuk membantu masyarakat yang baru melek huruf agar terus mau membaca. Apalagi jika taman bacaan tersebut menyediakan bacaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, seperti keterampilan, perikanan, dan pertanian. Masyarakat mendapat nilai plus untuk bisa meningkatkan kehidupan mereka lebih baik lagi dari bekal pengetahuan yang didapat dari bacaan.

* Digunting dari Harian Kompas 21 April 2008
[+baca-]

Kamis, 03 Januari 2008

Perpusnas Lestarikan Naskah Kuno dengan "E-library"

Sebanyak 10.000 naskah kuno yang disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta akan disalin ke dalam format digital. Cara ini dapat mencegah kerusakan naskah kuno yang sebagian besar rapuh.

Kepala Perpustakaan Nasional RI Dady P Rachmananta mengatakan, program perpustakaan digital atau e-library ini sudah dirancang sejak 2006. "Program ini permintaan dari pemerintah untuk merawat dan koleksi langka di perpustakaan," katanya.

Tahun 2008, menurut Dady, pemerintah mengalokasikan dana Rp 126 miliar untuk dua program utama, yaitu penyalinan naskah kuno dan bantuan perpustakaan daerah. "Perawatan naskah kuno amat penting karena kebanyakan ditulis di atas lembaran kayu atau daun lontar dikhawatirkan cepat rusak jika terlalu sering dibaca," katanya.

Menurut Dady, saat ini Perpustakaan Nasional sudah menyalin sebanyak 1.000 judul naskah kuno. Ia memperkirakan penyalinan untuk semua judul naskah kuno akan selesai tahun 2009.

"Dengan adanya naskah kuno dalam format digital, pembaca dapat mengakses melalui internet atau komputer yang tersedia di Perpustakaan Nasional tanpa harus memegang naskah aslinya," kata Dady. Seluruh teks yang ada dalam naskah kuno dapat pula dicari dan dibaca melalui situs digilib.pnri.go.id.

Terbatas

Penyalinan naskah atau buku ke dalam format digital baru dapat dilakukan untuk naskah kuno, sedangkan penyalinan buku-buku terbitan terbaru belum dapat dilakukan.

Dady mengatakan, penyalinan buku-buku terbitan baru terbentur masalah hak cipta yang dimiliki penerbit, sedangkan naskah kuno sudah menjadi milik negara. "Penerbit belum mau jika buku-buku yang diterbitkan diubah dalam bentuk digital karena semua orang dapat mengakses dengan gratis," katanya.

Menanggapi hal ini, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Supriyadi mengatakan, buku terbaru hanya akan disalin halaman depan, daftar isi, dan pendahuluannya. Hal ini untuk mempermudah pembaca untuk mencari buku yang dibutuhkan tanpa harus pergi ke perpustakaan.

"Untuk ke depannya kami berharap dapat mengubah semua koleksi ke dalam bentuk digital karena masyarakat di kota besar seperti Jakarta sudah sangat membutuhkan perpustakaan digital," ujar Supriyadi.

*Digunting dari Harian Kompas Edisi Kamis, 03 Januari 2008
[+baca-]

Sabtu, 01 Desember 2007

Emang, Sekolah Anda Punya Perpustakaan?

Sepanjang pengamatan saya, pembicaraan mengenai buku, siswa, dan perpustakaan selalu bernuansa gelap. Sama persis dengan headline surat kabar harian di negeri ini. Meskipun "kegelapan" minat baca itu belum saya pergoki dalam bentuk statistik yang kesahihannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, laporan Taufiq Ismail, penyair Indonesia Angkatan ’66, yang konon telah mewawancarai 13 orang mantan siswa SMA di 13 negara itu, cukup menjadi salah satu buktinya.

Hasilnya? Di Jerman, pada pendidikan tingkat SMA, para siswa telah membaca sekurang-kurangnya 15 judul buku sastra, di New York membaca 32 judul, di Rusia 12 judul, di Singapura dan Malaysia masing-masing 6 judul. Sementara di Indonesia 0 judul!?

Memang, "penelitian" Taufiq Ismail tersebut hanya meliputi buku sastra, namun pernyataan tersebut telah masyhur sebagai dalil umum yang dianggap valid. Laporan itu pun membuat kita terus semakin miris. Buku tidak lagi menjadi sumber sekunder informasi. Perlahan-lahan, keberaksaraan kembali ke arah kelisanan, "kelisanan elektronik dan digital" di dalam tabung televisi dan monitor komputer.

Benarkah generasi kita jauh lebih bodoh dari generasi Soekarno? Benarkah (siswa) kita adalah anggota keluarga besar pemalas dalam urusan membaca? Ini harus dipertanyakan ulang. Sebab, data keluhan rendahnya intensitas pengunjung perpustakaan dan minat baca juga berada pada wilayah abu-abu. Nah, bukankah lebih asyik jika pertanyaannya kita ganti menjadi: Emang, Sekolah Anda Punya Perpustakaan?

Tampaknya, semua sekolah memang punya perpustakaan. Namun, jika pada kata "perpustakaan" dibubuhi catatan kaki yang berisi: perpustakaan tentu saja bukan bangunan di lingkungan sekolah yang berisi buku-buku inpres sisa zaman baheula, tanpa buku karya sastra dan buku-buku karya ilmiah (kecuali lapuk dan berdebu), akan lain ceritanya.

Banyak kondisi perpustakaan kita yang dengan mudah dapat diidentifikasi sebagai bangunan/ruangan yang paling jelek di antara ruang kelas yang lain. Dalam istilah Abdullah Mamber, perpustakaan cenderung berwujud gedung yang paling angker di lingkungan sekolah. Karena itu, siswa yang "nekat" datang ke sana akan mendapat sebutan "hantu perpus". Perpustakaan sekolah menjadi bangunan yang "maujud namun perlina" (adanya bagai tiada).

Sebelum mengeluhkan rendahnya minat baca siswa, sebaiknya kita lebih dulu mempertanyakan kesiapan dan sikap pihak sekolah dalam memfasilitasi perpustakaan. Saya punya pengalaman. Begini ceritanya.

Dulu, perpustakaan di sekolah tempat saya mengajar lebih tepat jika disebut gudang. Detailnya barangkali persis seperti "catatan kaki" yang saya tulis di atas, atau sebagaimana digambarkan secara umum oleh Abdullah Mamber tersebut. Namun, setelah dipugar, interior dan sedikit pada bagian eksteriornya dipermak, perpustakaan pun jadi "norak" dan nyolong fokus. Catnya tidak putih sebagaimana lazimnya ruang kelas. Perpustakan yang semula merupakan bangunan paling menakutkan di lingkungan sekolah, kini menjadi satu-satunya bangungan yang tampak paling megah.

Rupanya, jurus ini ampuh. Hal ini terbukti karena setelah itu perpustakaan berubah menjadi "ruang kelas bersama" bagi semua tingkatan. Ia menjadi tempat yang paling sering dikunjungi siswa. Mau datang saja sudah cukup, niat membaca biarlah belakangan. Analoginya: yang penting ngapel dulu, soal mengungkapkan rasa cinta itu biarlah diatur kemudian.

Mula-mula, ketika perpustakaan dibuka ulang pascapemugaran, jumlah pengunjung mencapai 1.500-an siswa dalam sepekan. Angka ini tidak fantastis. Namun, pihak sekolah cukup berbangga dengan angka tersebut jika mengacu pada jumlah total siswa yang kurang dari 400 orang. Lama-lama, karena dianggap monoton dan "tradisional" (karena tidak lebih dari sekadar tempat membaca/meminjam buku), dan ini mungkin juga akan dialami oleh hampir semua perpustakaan sekolah, kian hari jumlah pengunjung terus menyusut.

Untuk mengobati kebosanan gaya "membaca biasa" itu, yaitu membaca secara tradisional untuk diri sendiri, diadakanlah kegiatan "simakan buku", terutama karya sastra (cerpen). Seorang siswa membaca, sementara yang lain mendengarkan. Setelah itu, bacaan diapresiasi dan didiskusikan.

Kegiatan lainnya adalah diskusi buku secara rutin, pemutaran film dokumenter, serta pembentukan sekolah menulis. Sebagai medianya, dibuatlah mading yang sebagian besar bahan-bahannya berupa tripleks dan papan bekas. Di mading itu, siapa pun boleh menulis dan langsung menempelnya sendiri secara suka-suka.

Dengan cara seperti itu, alhamdulillah, perpustakaan kembali bergairah. Perpustakaan tidak lagi menjadi seperti kios persewaan komik. Perpustakaan pun berubah menjadi laboratorium dan pusat semua kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan membaca-menulis serta aktivitas keilmuan yang lain. Kami bahagia karena ternyata penelitian Taufiq Ismail maupun pernyataan-pernyataan miring perihal rendahnya minat baca siswa tidak berlaku di sini.

***

Jika sekolah diibaratkan sebagai tubuh, maka perpustakaanlah jantungnya. Karena itu, perpustakaan wajib ada pada tiap-tiap sekolah. Sekadar ada? Tidak! Setiap orang punya jantung, namun jantung yang lemah akan membuat aktivitas lainnya menjadi tidak bergairah. Jadi, jika perpustakaan menjadi jantung sekolah, maka ia harus sehat. Aktivitas pengunjung, intensitas membaca, juga ketersediaan bahan pustaka, semuanya harus saling mendukung.

Pada perpustakaanlah kita meyakini bahwa "membaca dan menulis" dalam proses pemberdayaan pengetahuan manusia sama seperti halnya "makan dan minum" dalam proses kelangsungan hidupnya. Kedua hal itu berkelit-kelindan. Keduanya saling bertaut dan tidak dapat saling dipisahkan. "Membaca dan menulis" sejatinya merupakan "+1" (plus satu) yang tidak dicantumkan dari sembilan bahan pokok kebutuhan dasar manusia.

Otak pembelajaran di sekolah terletak pada sumber daya manusianya. Sementara otak intelektual terdapat pada minat bacanya. Buku-buku di perpustakaan itu adalah "guru-guru tanpa gaji" yang memiliki peran sangat penting dalam proses berlangsungnya transfer ilmu pengetahuan. Pengalaman cenderung menunjukkan jalan setelah kita tersesat, sementara buku memberi tahu arah sebelum kita melangkah.

Sebab itu, sebelum pertanyaan "Seberapa tinggikah minat baca di perpustakaan sekolah Anda?" dilontarkan, selayaknya kita mengajukan pertanyaan "Adakah perpustakaan di sekolah Anda?" Jika belum, maka simaklah pesan Prof Dr Darji Darmodiharjo ini. Mantan Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, itu berpesan: "Perpustakaan sekolah itu harus ada pada tiap-tiap lembaga pendidikan. Bila tidak ada ruang perpustakaan, pakailah salah satu ruang kelas. Jika ruang kelas tidak ada, pakailah ruang pojok dengan rak bukunya. Jika tidak ada ruang pojok? Tutup saja sekolahnya!" (*)

* M. Faizi, guru di SMA 3 dan Mts 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura
** Digunting dari Harian Jawa Pos Edisi 2 Desember 2007
[+baca-]

Minggu, 18 November 2007

Perpustakaan Sekolah Telantar

Perpustakaan sekolah dasar di sejumlah daerah, termasuk di sekitar Jakarta, terkesan ditelantarkan dan belum menjadi prioritas. Koleksi buku-buku sudah usang, tempat penyimpanan tidak representatif, dan nyaris tidak ada buku-buku baru.

Berdasarkan pantauan ke sejumlah sekolah dasar, Jumat dan Sabtu (16-17/11), sebagian besar koleksi buku perpustakaan merupakan buku-buku lama terbitan sebelum tahun 2004. Sangat minim buku-buku cerita, apalagi buku yang menyangkut teknologi, yang mudah dimengerti anak- anak.

Penataan buku-buku itu pun kurang layak dan terkesan asal- asalan, bahkan banyak perpustakaan yang tempatnya sangat sempit serta kurang menarik dikunjungi. Kalaupun ada murid yang meminjam buku, pencatatannya pun tidak rapi.

Menurut sejumlah kepala sekolah, sejak ditetapkannya kebijakan bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan operasional pembangunan (BOP), sekolah tidak lagi mendapatkan sumbangan buku, baik dari pemerintah pusat maupun dari Dinas Pendidikan (Diknas) setempat.

"Dengan BOP Rp 50.000 per anak dan BOS sebesar Rp 21.166 per anak, sekolah kesulitan jika harus menambah buku-buku baru untuk koleksi perpustakaan. Uang tersebut kebanyakan dipakai untuk pembelian alat bantu belajar-mengajar, seperti buku pelajaran wajib dan ekstrakurikuler," kata seorang guru di Pulogebang, Cakung, Jakarta.

Dengan adanya biaya BOS dan BOP, sekolah diharapkan pemerintah bisa menerapkan manajemen berbasis sekolah. Sekolah harus bisa mengatur sendiri dana BOS dan BOP tanpa meminta lagi dari pihak luar sekolah, seperti orangtua dan organisasi lain. Bantuan bahan bacaan anak tidak datang lagi setelah terakhir kali diberikan tahun 2003.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komite Sekolah SDN Pulogebang Riniwati berharap, walaupun sudah tidak dipungut biaya, pemerintah tetap memerhatikan fasilitas sekolah, seperti perpustakaan.

Kepala Sekolah SDN I Jakasampurna, Bekasi Barat, Edah Syubaedah mengatakan, sekolahnya sudah diperbarui bangunannya menjadi dua tingkat dan mendapat dana BOS sebesar Rp 21.500 per anak, namun masih kesulitan untuk membangun perpustakaan.

Secara terpisah, Mudjito AK, Direktur Taman Kanak-kanak dan SD Departemen Pendidikan Nasional menjelaskan, dalam dua tahun terakhir penyediaan fasilitas sekolah, termasuk perpustakaan, mulai menjadi prioritas.

Menurut dia, jumlah perpustakaan SD diperkirakan mencapai 70.000 unit dari jumlah SD yang banyaknya 149.454 di seluruh Tanah Air.

*Digunting dari Harian Kompas Edisi 19 November 2007
[+baca-]

Rabu, 24 Oktober 2007

Pustakawan Bukan Sekadar Penjaga Buku

Perpustakaan telah berkembang konsepnya tak lagi sekadar merupakan rak dengan jajaran buku, melainkan sebagai resources center atau sumber daya informasi. Karena itu, tenaga pustakawan juga harus semakin kompeten, bukan sekadar penjaga buku.

Fuad Gani, Ketua Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI), mengatakan, Senin (22/10) di Jakarta, seiring dengan disahkannya undang-undang tentang perpustakaan baru-baru ini yang bertujuan untuk mengembangkan perpustakaan, pustakawan semakin dibutuhkan, terutama untuk perpustakaan publik dan sekolah.

Untuk mengembangkan kemampuan masyarakat maupun pustakawan dalam mengembangkan perpustakaan sebagai sumber daya informasi, departemen ini memiliki center for information studies.

Lembaga ini merupakan bagian dari unit ventura untuk jasa pelayanan masyarakat. Pihak UI sering bekerja sama dengan berbagai lembaga lain untuk memberikan pelayanan pelatihan perpustakaan kepada masyarakat.

Dalam perkembangan dewasa ini, para pustakawan pun dibutuhkan keluarga-keluarga. Tumbuhnya minat pribadi atau keluarga menghadirkan perpustakaan di rumah membuka peluang bagi para pustakawan ini untuk melayani dan mengedukasi masyarakat guna memanfaatkan perpustakaan yang sederhana.

"Mereka yang punya perpustakaan di rumah terkadang tidak mengerti bagaimana mengelola perpustakaan yang bisa memudahkan mereka untuk memanfaatkan koleksi yang ada. Pemilik ada yang merasa butuh bantuan ahli sehingga buku-buku bisa mudah dicari saat dibutuhkan," ujar Edi Dimyati, pustakawan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta yang sering diminta mengelola perpustakaan keluarga.

Gunawan, pustakawan lainnya, mengatakan, pengelolaan perpustakaan di rumah biasanya dilakukan dengan sederhana. Koleksi buku yang ada dikategorikan sesuai subyeknya.

* Digunting dari Harian Kompas Edisi Kamis, 25 Oktober 2007
[+baca-]