Sepanjang pengamatan saya, pembicaraan mengenai buku, siswa, dan perpustakaan selalu bernuansa gelap. Sama persis dengan headline surat kabar harian di negeri ini. Meskipun "kegelapan" minat baca itu belum saya pergoki dalam bentuk statistik yang kesahihannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, laporan Taufiq Ismail, penyair Indonesia Angkatan ’66, yang konon telah mewawancarai 13 orang mantan siswa SMA di 13 negara itu, cukup menjadi salah satu buktinya.
Hasilnya? Di Jerman, pada pendidikan tingkat SMA, para siswa telah membaca sekurang-kurangnya 15 judul buku sastra, di New York membaca 32 judul, di Rusia 12 judul, di Singapura dan Malaysia masing-masing 6 judul. Sementara di Indonesia 0 judul!?
Memang, "penelitian" Taufiq Ismail tersebut hanya meliputi buku sastra, namun pernyataan tersebut telah masyhur sebagai dalil umum yang dianggap valid. Laporan itu pun membuat kita terus semakin miris. Buku tidak lagi menjadi sumber sekunder informasi. Perlahan-lahan, keberaksaraan kembali ke arah kelisanan, "kelisanan elektronik dan digital" di dalam tabung televisi dan monitor komputer.
Benarkah generasi kita jauh lebih bodoh dari generasi Soekarno? Benarkah (siswa) kita adalah anggota keluarga besar pemalas dalam urusan membaca? Ini harus dipertanyakan ulang. Sebab, data keluhan rendahnya intensitas pengunjung perpustakaan dan minat baca juga berada pada wilayah abu-abu. Nah, bukankah lebih asyik jika pertanyaannya kita ganti menjadi: Emang, Sekolah Anda Punya Perpustakaan?
Tampaknya, semua sekolah memang punya perpustakaan. Namun, jika pada kata "perpustakaan" dibubuhi catatan kaki yang berisi: perpustakaan tentu saja bukan bangunan di lingkungan sekolah yang berisi buku-buku inpres sisa zaman baheula, tanpa buku karya sastra dan buku-buku karya ilmiah (kecuali lapuk dan berdebu), akan lain ceritanya.
Banyak kondisi perpustakaan kita yang dengan mudah dapat diidentifikasi sebagai bangunan/ruangan yang paling jelek di antara ruang kelas yang lain. Dalam istilah Abdullah Mamber, perpustakaan cenderung berwujud gedung yang paling angker di lingkungan sekolah. Karena itu, siswa yang "nekat" datang ke sana akan mendapat sebutan "hantu perpus". Perpustakaan sekolah menjadi bangunan yang "maujud namun perlina" (adanya bagai tiada).
Sebelum mengeluhkan rendahnya minat baca siswa, sebaiknya kita lebih dulu mempertanyakan kesiapan dan sikap pihak sekolah dalam memfasilitasi perpustakaan. Saya punya pengalaman. Begini ceritanya.
Dulu, perpustakaan di sekolah tempat saya mengajar lebih tepat jika disebut gudang. Detailnya barangkali persis seperti "catatan kaki" yang saya tulis di atas, atau sebagaimana digambarkan secara umum oleh Abdullah Mamber tersebut. Namun, setelah dipugar, interior dan sedikit pada bagian eksteriornya dipermak, perpustakaan pun jadi "norak" dan nyolong fokus. Catnya tidak putih sebagaimana lazimnya ruang kelas. Perpustakan yang semula merupakan bangunan paling menakutkan di lingkungan sekolah, kini menjadi satu-satunya bangungan yang tampak paling megah.
Rupanya, jurus ini ampuh. Hal ini terbukti karena setelah itu perpustakaan berubah menjadi "ruang kelas bersama" bagi semua tingkatan. Ia menjadi tempat yang paling sering dikunjungi siswa. Mau datang saja sudah cukup, niat membaca biarlah belakangan. Analoginya: yang penting ngapel dulu, soal mengungkapkan rasa cinta itu biarlah diatur kemudian.
Mula-mula, ketika perpustakaan dibuka ulang pascapemugaran, jumlah pengunjung mencapai 1.500-an siswa dalam sepekan. Angka ini tidak fantastis. Namun, pihak sekolah cukup berbangga dengan angka tersebut jika mengacu pada jumlah total siswa yang kurang dari 400 orang. Lama-lama, karena dianggap monoton dan "tradisional" (karena tidak lebih dari sekadar tempat membaca/meminjam buku), dan ini mungkin juga akan dialami oleh hampir semua perpustakaan sekolah, kian hari jumlah pengunjung terus menyusut.
Untuk mengobati kebosanan gaya "membaca biasa" itu, yaitu membaca secara tradisional untuk diri sendiri, diadakanlah kegiatan "simakan buku", terutama karya sastra (cerpen). Seorang siswa membaca, sementara yang lain mendengarkan. Setelah itu, bacaan diapresiasi dan didiskusikan.
Kegiatan lainnya adalah diskusi buku secara rutin, pemutaran film dokumenter, serta pembentukan sekolah menulis. Sebagai medianya, dibuatlah mading yang sebagian besar bahan-bahannya berupa tripleks dan papan bekas. Di mading itu, siapa pun boleh menulis dan langsung menempelnya sendiri secara suka-suka.
Dengan cara seperti itu, alhamdulillah, perpustakaan kembali bergairah. Perpustakaan tidak lagi menjadi seperti kios persewaan komik. Perpustakaan pun berubah menjadi laboratorium dan pusat semua kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan membaca-menulis serta aktivitas keilmuan yang lain. Kami bahagia karena ternyata penelitian Taufiq Ismail maupun pernyataan-pernyataan miring perihal rendahnya minat baca siswa tidak berlaku di sini.
***
Jika sekolah diibaratkan sebagai tubuh, maka perpustakaanlah jantungnya. Karena itu, perpustakaan wajib ada pada tiap-tiap sekolah. Sekadar ada? Tidak! Setiap orang punya jantung, namun jantung yang lemah akan membuat aktivitas lainnya menjadi tidak bergairah. Jadi, jika perpustakaan menjadi jantung sekolah, maka ia harus sehat. Aktivitas pengunjung, intensitas membaca, juga ketersediaan bahan pustaka, semuanya harus saling mendukung.
Pada perpustakaanlah kita meyakini bahwa "membaca dan menulis" dalam proses pemberdayaan pengetahuan manusia sama seperti halnya "makan dan minum" dalam proses kelangsungan hidupnya. Kedua hal itu berkelit-kelindan. Keduanya saling bertaut dan tidak dapat saling dipisahkan. "Membaca dan menulis" sejatinya merupakan "+1" (plus satu) yang tidak dicantumkan dari sembilan bahan pokok kebutuhan dasar manusia.
Otak pembelajaran di sekolah terletak pada sumber daya manusianya. Sementara otak intelektual terdapat pada minat bacanya. Buku-buku di perpustakaan itu adalah "guru-guru tanpa gaji" yang memiliki peran sangat penting dalam proses berlangsungnya transfer ilmu pengetahuan. Pengalaman cenderung menunjukkan jalan setelah kita tersesat, sementara buku memberi tahu arah sebelum kita melangkah.
Sebab itu, sebelum pertanyaan "Seberapa tinggikah minat baca di perpustakaan sekolah Anda?" dilontarkan, selayaknya kita mengajukan pertanyaan "Adakah perpustakaan di sekolah Anda?" Jika belum, maka simaklah pesan Prof Dr Darji Darmodiharjo ini. Mantan Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, itu berpesan: "Perpustakaan sekolah itu harus ada pada tiap-tiap lembaga pendidikan. Bila tidak ada ruang perpustakaan, pakailah salah satu ruang kelas. Jika ruang kelas tidak ada, pakailah ruang pojok dengan rak bukunya. Jika tidak ada ruang pojok? Tutup saja sekolahnya!" (*)
* M. Faizi, guru di SMA 3 dan Mts 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura
** Digunting dari Harian Jawa Pos Edisi 2 Desember 2007
Sabtu, 01 Desember 2007
Emang, Sekolah Anda Punya Perpustakaan?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
Tidak ada komentar:
Posting Komentar