Sudah dua kali Muhidin M. Dahlan membuat catatan tentang Kediri di rubrik ini. Yakni, tentang buruknya manajemen perpustakaan daerah yang dikelola pemerintah. Pertama, perpustakaan di Kota Kediri yang untuk masuk saja anak kecil dibuat ketakutan --karena ada dua patung hitam besar di lantai dasarnya yang gelap (JP, 9/7/2006). Kedua, perpustakaan Kabupaten Kediri di Pare yang petugasnya pun tak kenal siapa itu Clifford Geertz, antropolog yang berjasa menginternasionalisasikan Pare dengan sebutan Mojokuto (JP, 16/9/2007).
Muhidin memang pantas resah. Sebab, jauh-jauh dari Jakarta, pencariannya selalu menemui jalan buntu. Catatan-catatan tentang sejarah Kerajaan Kediri, selembar pun tak ditemukannya di perpustakaan yang dulu daerahnya pernah menjadi pusat kerajaan pimpinan Sri Aji Jayabaya itu. Alih-alih dokumentasi sejarah yang sudah berumur ribuan tahun, petugasnya justru balik bertanya ketika Muhidin memancingnya dengan menanyakan buku karya Goenawan Mohamad. "Siapa dia? Kayaknya pernah dengar."
Reaksi yang sama didapat ketika kerani buku itu bertanya tentang Geertz kepada petugas perpustakaan di Pare hingga ke pemilik warung. Tak satu pun yang mengenal londo asal Amerika yang pernah bertahun-tahun tinggal di Kota Pare itu.
Muhidin memang tidak salah. Dia hanya lupa bahwa semestinya tak perlu berharap banyak kepada pemerintah atau kepada lembaga-lembaga yang dikelola penguasa untuk urusan "sepele" seperti itu. Maka, pengalaman mendapat jawaban pahit di perpustakaan kota, masih saja diulanginya dengan mendatangi perpustakaan di kabupaten.
Berharap kepedulian pemerintah daerah terhadap dunia perbukuan memang masih menjadi mimpi yang mahal. Kalaupun ada, masih bisa dihitung dengan jari. Salah satunya Kota Blitar dengan Perpustakaan Bung Karno-nya. Maklum, bagi penguasa di daerah, modal kapital masih jauh lebih menarik daripada modal sosial.
Maka, ketika kewenangan daerah mendapat porsi lebih besar dalam otonomi, yang banyak dibangun adalah mal dan pusat-pusat perbelanjaan lain. Bahkan tak peduli harus menggusur ruang publik maupun lahan hijau kota. Tak peduli juga apakah mal itu nanti ada pembelinya atau tidak karena kantong rakyat tak mampu menjangkau harga stan.
Mereka lebih senang mengabdi kepada kepentingan kapital daripada melayani kebutuhan rakyat. Bukan sekadar kebutuhan ekonomi, tapi juga kebutuhan pendidikan. Kebutuhan untuk menjadi yang tercerahkan. Dalam situasi seperti ini, maka jangan terlalu berharap akan ada perpustakaan daerah --walaupun kecil-- tapi terasa nyaman di dalamnya dengan koleksi buku yang lengkap. Perpustakaan yang buka hingga malam dan hari-hari libur untuk melayani masyarakat.
Harapan seperti itulah yang sudah lama tak terlalu dihiraukan oleh komunitas seperti Muhidin di Kediri. Mereka lebih senang bergelut dengan aktivitasnya sendiri. Menjelajah dan berburu buku-buku yang diminati. Menyelam dan mereguk saripati di dalamnya. Kemudian, mendiskusikannya untuk sekadar me-refresh atau mengembangkannya dalam sebuah penelitian atau menjadikan buku baru. Semua dilakukan tanpa ketergantungan kepada pemerintah, tanpa mengandalkan perpustakaan daerah yang memang belum bisa diandalkan.
Komunitas semacam inilah yang mulai marak di Kediri, meskipun gaungnya tak segegap gempita seperti di Jogja atau Jakarta. Maklum, kota ini memang lebih dikenal karena "tahu Kediri" dan Gudang Garam-nya, belakangan juga berkat tim bolanya (Persik) yang jawara Liga Indonesia. Kendati demikian, Tri Prasetyo, pekerja buku yang kini intens menggelar pameran buku, berani menyebut bahwa iklim perbukuan di Kediri lebih hidup dibandingkan Surabaya. Nomor dua di Jawa Timur setelah Malang. Tetapi, diakui juga, untuk pasar, Kediri masih kalah pada Surabaya dan Malang. Buku-buku yang dicari pun masih sebatas buku-buku praktis.
Iklim perbukuan di Kediri juga terlihat dari munculnya sejumlah penulis dan penerbit lokal. Misalnya, M. Darwis, konsultan psikologi, yang mencoba mengekor sukses penulis Iip Wijayanto dengan bukunya yang menguak sisi lain pergaulan remaja di sekolah. Dalam setahun, bukunya sudah cetak ulang kedua. Dan, kini membuat penerbit besar tertarik untuk menerbitkannya.
Juga Prof Fauzan Saleh dari STAIN Kediri yang karya disertasinya di Mc Gill University Kanada bahkan sudah diterbitkan di Belanda (Leiden: E.J. Brill, 2001) kemudian diterjemahkan dan dicetak ulang di sini.
Sementara, di sektor penerbitan, muncul drg Sutjahjo Gani yang berusaha membangkitkan kembali penerbitan moyangnya, Tan Khoen Swie, di Jl Dhoho, yang pernah moncer pada abad XIX dan awal abad XX. Ada pula Cak Suko Susilo dengan Jenggala-nya yang menerbitkan buku-buku karya guru besar dan doktor perguruan tinggi negeri di Surabaya. Semua itu belum termasuk para penulis dan penerbit ’indie label’.
Ya, mereka adalah bagian dari komunitas perbukuan yang hidup di kota kecil, yang gaungnya masih kalah dengan tahu, rokok, dan bola. Tapi, mereka tak mau bergantung atau terlalu berharap kepada pemerintah. Tak mau pula menggantang asa pada penerbit-penerbit besar yang sudah mapan. Namun, mereka cukup intens dengan aktivitasnya, walau mungkin, bagi orang lain, terlihat seperti ngobrol tak tentu arah. Salah satunya ngobrol tentang Geertz yang 30 Oktober nanti diperingati haulnya yang pertama.
Maka, seandainya saja Muhidin tidak mengulangi kesalahannya setahun lalu dengan kembali mendatangi perpustakaan daerah di Pare, mungkin dia tak perlu tersesat. Apalagi sampai harus bertanya kepada pemilik warung segala. Sebab, hanya berjarak sekitar satu kilometer dari perpustakaan itu, dia seharusnya bisa meresapi kehadiran Geertz di sana saat menyusun Religion of Java.
Di Jalan Anyelir, satu kompleks dengan Masjid Darul Falah, Geertz banyak berdiskusi dengan KH Ahmad Yazid, hampir setiap hari selama Geertz tinggal di Pare pada 1950-an. Kiai Yazid pula yang sering menunjukkan dan menemani Geertz dan istrinya, Hildred, mewawancarai masyarakat. Maklum, ulama modernis itu menguasai berbagai bahasa asing: Inggris, Arab, Prancis, Belanda, Jerman, Rusia, hingga bahasa Urdu dan Ibrani.
Di pertengahan 1980-an, Geertz sempat datang lagi ke rumah Kiai Yazid untuk berdiskusi. Demikian pula pada pertengahan 1990-an. Namun, saat itu, sang kiai sudah tiada. Geertz hanya bertemu Kalend, murid Kiai Yazid, di "kampung bahasa Inggris" tersebut. Kata Nurhasan Yazid, putra Kiai Yazid, antropolog Harvard University itu juga sempat menikmati komedi putar di pusat kota Kecamatan Pare alias Mojokuto.
Kedekatan Geertz dengan Kiai Yazid itulah yang sempat memunculkan tudingan dari Maulidin bahwa Religion of Java bias modernis. Terutama dalam kategorisasi santri, abangan, dan priyayi yang dibuatnya.
Sekali lagi, seandainya Muhidin tidak mengulangi kesalahannya, mungkin dia sudah bisa mewawancarai dinding-dinding tembok rumah Kiai Yazid yang menjadi saksi intensitas dialog Geertz dengan kiai poliglot itu. Dinding-dinding itu masih berdiri kokoh walaupun penghuninya sekarang adalah para santri di kampung bahasa Inggris tersebut. Muhidin juga bisa mencecap buku-buku koleksi sang kiai, meskipun kondisi rumah yang kini dijadikan perpustakaan umum itu tak lebih baik daripada perpustakaan daerah. Jadi, masihkah berharap kepada pemerintah dan perpustakaan daerah? (*)
*) Tauhid Wijaya, Pemimpin Redaksi Radar Kediri, penggiat Forum Diskusi Malem Selosoan
**> Digunting dari Harian Jawa Pos Edisi Minggu, 30 September 2007
Minggu, 30 September 2007
Muhidin, Geertz, dan Kiai Yazid
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
1 komentar:
Assalamualaikum.wr.wb. ada yg punya nomornya mas mubidin. Saya kebetulan saat ini meneliti tentang perjuangan kiyai yazid
Posting Komentar