Sabtu, 15 September 2007

Robohnya Perpustakaan Hatta di Jogjakarta

Hari ini, 26 April 2007, adalah hari ketika Perpustakaan Hatta di Jogjakarta roboh. Tak ada memang angin puting beliung mengipas-ngipasi daratan Jogja sebagaimana kabar-kabar sebelumnya. Bukan juga para petugas Kamtib kota melakukan vandalisme dengan menggaruk sebuah monumen buku.

Perpustakaan Hatta roboh karena disungsep sepi yang tiada berkesudahan. Hatta pernah bilang bahwa lawan utama di Digul adalah kesepian. Jika tak mampu melawan kesepian itu, maka hitunglah detik-detik kematianmu.

Tapi Perpustakaan Hatta bukan di neraka Digul. Perpustakaan itu menggigil setengah mati di tengah-tengah kota yang disekelilingnya mengacak dengan sombong mal-mal supermewah.

Tepat di depannya pula yang jaraknya hanya sepelontaran ludah, di Gedung Wanitatama Jl Solo, tiap tahun pesta buku digelar dan digeber. Tapi masihkah orang yang datang dan pulang menenteng buku-buku baru atau buku-buku obralan Jusuf Agency tahu bahwa di seberang jalan itu terdapat tonggak-tonggak yang merinci jejak pemikiran Hatta. Sadarkah orang-orang dalam pesta itu bahwa di sana, buku-buku itu berjibaku; bukan dengan tangan-tangan intelektual yang haus ilmu, tapi berusaha bertahan dari rayapan kutu dan sapuan debu langit-langit tripleks gedung yang terjuntai.

Pada Juli 2006 silam, setuturan salah satu petugas, Pak Tulus, Perpustakaan Hatta akan diakuisisi UGM. Semua isinya dipindahkan di UPT lantai dua. Namun rencana itu tak kunjung dilakukan. Baru sesiang yang redup itu, semua buku tonggak itu diangkut. Melihat proses pemindahan itu, bagi mereka pernah menjadi pembaca di perpustakaan itu, akan miris. Bayangkanlah seperti para perempuan malam digaruk, dikejar, dicengkeram, lalu tubuhnya dilempar ke atas truk.

Bagi Hatta buku adalah "perempuan" dan sekaligus menjadi "istri pertamanya" selain Bu Rahmi. Dan perempuan yang membebaskan pikirannya selama menjalani hari-hari neraka di Digul itu, hari ini, diperlakukan dengan tak terhormat. Raga buku itu dibanting dan dilempar ke dalam mobil dengan mental seorang kuli memperlakukan karung-karung beras impor.

Majalah-majalah seperti Sarinah dan bundelan-bundelan macam-macam majalah berserak-serakan. Saya kemudian berjalan masuk ke dalam mengitari ruangan tempat saya biasanya baca dan duduk sendiri. Tepat di depan foto Hatta yang ada di ruang tengah saya benar-benar terpaku. Foto itu seolah meliuk perlahan, mengangkat bahu yang rentan dan menggeser tubuh rentanya. Ia seperti gumun dan menggumamkan sedih melihat buku-buku penggembleng kecerdasan itu terantuk oleh tangan-tangan keras.

Cara Hatta mencintai buku bukanlah mitos dari sebuah gadangan nama yang besar. Buku adalah monumen pikiran manusia dan dengan buku manusia menjadi waras dan tahu sejarah pertumbuhannya dalam buana yang sempit ini. Dengan tahu sejarah, manusia akan tahu diri dan berendah hati di hadapan mahkamah kehidupan.

Maka jangankan dibuang, dibanting, dan dilempar, dilipat saja kertas bukunya, Hatta bisa meradang dan tak bisa tidur.

Sudut mata dari foto tua itu menggeletar dengan tangan kiri yang bergetar memegangi sebuah buku yang terbuka. Jika Hatta bisa bicara, mungkin ia menghardik parau: "Kejamnya negara yang kubangun ini, vandalnya manusia-manusia di dalamnya yang tak terbiasa hidup dalam pelukan ibu-ibu pengetahuan. Sungguh mereka tak bisa menghargai sejarah bangsanya."

Kemudian saya berjalan dan menghampiri Pak Fauzi, sang kepala jaga. Saya bertanya, kapan pertama-tama perpustakaan ini berdiri. Kata Pak Fauzi Perpus Hatta sudah berdiri sejak tahun 1950-an di Malioboro. Saya merinding juga. Sudah tua betul prasasti Hatta ini. Dalam sejarah, kebetulan saya mahasiswa sejarah, tua bukanlah kerapuhan dan karena itu mesti enyah mesti musnah. Ketuaan adalah monumen. Ia adalah rumah pulang ingatan ketika tiap hari kita disesaki luapan informasi yang datang menyerbu setiap harinya.

Mestinya Perpustakaan Hatta bisa menjadi wisata pengetahuan, sekaligus merefleksikan kembali bagaimana pergumulan Hatta dengan buku. Tapi siapa mau peduli. Kata Pak Fauzi, kondisinya memprihatinkan seperti ini karena memang tak ada yang mau mendonasi. Statusnya juga sebagai “perpustakaan swasta” sudah menjurus pada jauhnya uluran tangan pemerintah. “Sejak Orde Baru memang sama sekali tak terurus dengan alasan Bung Hatta menolak terima bantuan dari Soeharto. Ya alasannya beda pahamlah.”

Dan inilah berita ketika sebuah perpustakaan terasing(kan) dari pembacanya. Perpustakaan Hatta adalah kesempurnaan kisah bagaimana rumah para buku berteduh dilamun sangsai. Bahkan Meutia—yang kini sudah jadi menteri—dan dua saudaranya, Halida dan Gemala, juga tak banyak membantu. Kalaupun membantu—sedikit sekali dan tak mengubah apa pun.

Berjalan tanpa navigasi dan donasi, Pak Fauzi pun limbung untuk menggaji karyawan perpustakaan ini. Ia juga heran kenapa Pemda Jogja tak prihatin dan tak pernah memberi santunan sama sekali. Yang lebih menyedihkan lagi... ternyata tanah di mana perpustakaan ini berdiri, tiada lain milik UGM. Bahkan dalam hidupnya yang sudah setengah abad itu pun, ia hanya numpang di lahan orang. Betapa antiklimaksnya kisah perpustakaan historik ini.

Dan setelah perpustakaan ini disingkirkan, entah diperuntukkan untuk apa tanah itu. Semoga saja bukan untuk mall. Kalau itu terjadi lengkaplah nestapa Hatta. Ia dengan berdarah-darah membangun konsepsi ekonomi Indonesia dengan menulis buku-buku babon ekonomi; dan justru ekonomi pula yang mengalahkan dan menghancurkan buku-buku warisannya.
Boleh jadi buku-buku Hatta itu akan terawat dengan baik di Perpustakaan UGM, yang kabarnya sih akan diberi rak khusus yang diberi nama Hatta Collection. Namun kisah tentang pemindahan itu menandai bahwa begitu rapuhnya kita ini menjaga monumen-monumen ingatan tentang Hatta. Urusannya memang tiadanya perawatan atas buku-buku lawas Hatta itu. Ujung urusan juga pada akhirnya ketiadaan uang. Susah untuk mengandai-andai, mana yang duluan: uang atau kreativitas mengelola perpustakaan. Sebab nyaris semua orang juga tahu, bahwa jika tak ada sepotong nama Hatta di bangunan yang berdiri di atas tanah yang jembar itu, bangunan itu sangat representatif untuk syuting film-film horor saking wingitnya.

Dan sekarang, bukan cuma tripleksnya yang menggelambir dari langit-langit dan cat dindingnya yang kusam dicengkeram lumut dan rumput-rumput liar; tapi juga nama Hatta pun ikut musnah dari Jalan Solo itu. Inilah akhir dari pertarungan Perpustakaan Hatta melawan rasa sepi menyayat di tengah kota yang kian gila ini.

Nasib perpustakaan ini memang hanya mengulang setepat-tepatnya ucapan Hatta lebih dari setengah abad silam di Tanah Merah sebagaimana sudah saya kutipkan di awal artikel ini.

(Ditulis Reni Nuryani dan disunting kembali Muhidin M Dahlan)


Tidak ada komentar: