Sabtu, 15 September 2007

Arok Pun Doyan Baca di Perpus Malang

Arok adalah brandal paling sohor di seantero Malang di zaman batu. Bercelana cawat dengan dada telanjang terpanggang matahari, ia saban hari, siang dan malam, menjadi perompak hutan paling ditakuti saudagar. Tapi Bapa Loh Gawe melihat sebintik kemuliaan di jiwa pemuda ini dan membaptisnya sebagai titisan tint(j)a dewa. Dan kelak, Arok menjadi raja masyhur dan pendiri salah satu kerajaan penting di tanah Jawa.

Karena brandal, maka jangan harap Arok adalah pembaca kitab dan perenung yang tekun seperti para pandita, walau ia sudah jadi raja-di-raja. Namun bila melihat tampang perpustakaan Singasari (Malang) hari ini, si Arok brandal itu barangkali berpikir banyak kali untuk tak tergoda memasuki perpustakaan yang diurus dengan kesadaran leksikal yang intens. Mirip barangkali kemabukannya ketika melihat betis Dedes yang tersingkap ketika menaiki peraduan menghampiri suaminya si Ametung.

Saya memang berpikir Perpus Malang ini adalah perpaduan keanggunan pikiran dan kehalusan betis perempuan ting ting bernama Dedes. Walau terlihat feminin, ia sosok kokoh, tegar, dan berwibawa tatkala berhadapan abadi dengan 4 moncong tank di muka Museum Brawijaya di prapatan Ijen.

Dengan gelontoran dana 500 juta per tahun untuk pembelian dan pemeliharaan pustaka, Perpus Malang memang pantas menyandang salah satu perpus paling berkilau di Indonesia. Masuklah Anda ke ruang lobinya, di sana Anda akan bertemu dengan kelapangan dan 8 pigura sampul buku berukuran besar di gantung di tembok dan kolom.

Di lantai bawah ini kita bertemu kafetaria bakso malang “amanah” yang bersanding dengan ruang unduh internet dan meja kaca koleksi kitab klasik tentang Malang seperti Malangsche Landbouw Tentoonstelling 1898, Stadsgemeente Malang 1914-1913, Malang: Debergstad van Oost-Java, Malang Beeld van een Stad (A van Schaik), sampai Lambang-Lambang Kotamadya Daerah Tingkat II Malang.

Di tentangnya, terdapat sudut asri menonton televisi yang berpadu dengan tempat koran-koran menggelantung, hingga ruang pameran lukis bernama Anjungan Arok dengan alunan musik gamelan. Sementara di lengan kanan terdapat perpustakaan anak yang teduh, luas, harum, berkarpet tebal, serta selalu dijaga kebersihannya dengan dinding bunga matahari yang dicat berwarna pastel. Untuk perpustakaan umum, kehadiran perpustakaan anak ini tergolong luar biasa.

Menuju lantai dua kita dihadang baliho besar propaganda mencintai buku: “Orang boleh pesimis, bahkan apatis akan masa depan Indonesia. Tapi orang juga harus sadar bahwa runtuh dan bangkitnya Indonesia adalah masa depan kita bersama. Melalui buku, kita bisa gerakkan energi kebangkitan itu.”

Kita pun memang berhak optimis, sebab memasuki ruang lantai dua ini ujung mata kita disuguhi deretan buku yang lumayan lengkap dengan sistem pencarian dan peminjaman yang canggih dengan menggunakan sistem komputasi, maket rencana besar virtual library, lengkap dengan kamera CCTV dan tiga televisi kontrol untuk mengincar “perompak” pustaka. Dan hampir semua ruangan perpus ini disirami pendingin udara, bahkan kesejukan dan keharuman ruangan terasa sampai di toilet.

Meja baca tertata memanjang mengikuti lempengan panjang rak buku. Terlebih lagi ada juga 15 meja baca lesehan yang tiap hari penuh. Macam-macam pula saya lihat tipe pembaca yang datang. Ada yang memang mengerjakan tugas kuliah dengan serius. Namun ada pula niatnya yang-yangan. Supaya terlihat pacarannya lebih intelektual, berselonjorlah sepasangan mahasiswa. Yang cewek bersandar di dinding baca majalah Kartini dengan merelakan bahu kanannya ditumpaki punggung cowoknya yang sedang masyuk membukai buku SMS Cinta berwarna hijau.

Selain mahasiswa, umum, banyak juga pelajar yang berkitar-kitar di perpus itu. Sebut saja Initri, pelajar kelas I SMP Panjura. Jika ada waktu lowong di sekolah hampir dipastikan ia bersama teman-temannya bermain di perpus ini. Dan memang saya melihat sebarisan teman-teman Initri suntuk membaca novel-novel chiklit dan komik.

Tiap hari perpustakaan yang diresmikan pada 17 Agustus 1966 atas sumbangan OPS Rokok Kretek ini dikunjungi seribuan orang. Bahkan Sabtu bisa dua kali lipatnya. Minggu tetap buka untuk kunjungan pustaka keluarga.

Tampaknya Pemerintah Malang sadar betul betapa kehadiran perpustakaan menjadi acuan kualitas manusia dan peradaban dalam kota itu. Sekait dengan status Malang sebagai kota tujuan pendidikan, kehadiran perpustakaannya yang berkilau adalah oase penanda bahwa di masa lalunya kota ini pernah besar dan jaya. (Muhidin M Dahlan)


Tidak ada komentar: